Sabtu, 09 Oktober 2010

METODE PENELITIAN ILMIAH

PENDAHULUAN

Latar belakang
Ikan hias yang berasal dari air tawar dikenal dengan istilah fresh wate ornamental fish, salah satunya adalah ikan koi yang merupakan komoditi perikanan yang sudah dikenal luas baik domestik maupun internasional. Ikan koi ini berada dalam naungan genus yang sama dengan ikan mas. Ikan mas dikenal sebagai sumber protein hewani yang relatif murah dan mudah didapat sementara ikan koi lebih dikenal sebagai ikan hias dengan berbagai varias warna yang menarik.
Karena nilai estetika yang dimiliki oleh ikan koi menjadikan dia sebagai komoditi yang prospektif untuk dikembangkan. Ikan koi di jepang lebih dikenal dengan nama Nishikigoi. Ikan koi merupakan ikan hias air tawar yang memilil bentuk badan seperti torpedo dengan berbagai zat warna dan termasu golongan omnivora. Selain keragaman warna, pola serta bentuk tubuh yang unik ikan koi juga tergolong ikan yang memiliki ketahanan terhadap perubahan pad kondisi lingkungan. Kesehatan dan penyakitnya ditentukan oleh keseimbangan antara kepadatan ikan, air, kondisi lingkungan dan parasit serta kondisi ikan itu sendiri (Effendy 1993).
Walaupun harganya relatif mahal, tetapi tidak mengurangi jumlah konsumen yang menyukai ikan koi sebagai alternatif hiburan, bahkan ikan koi juga diikutsertakan dalam kontes ikan koi. ikan koi berasal dari daerah Asia Timur, daerah Persia. Tetapi banyak dibudidayakan di negara Jepang. Nishikigoi dalam bahasa Indonesia berarti ikan karper atau ikan mas. Ikan koi yang asal mulanya ikan karper hitam ini berangsur-angsur terus berkembang biak dengan mutasi alam atau dengan kawin silang, maka jadilah ikan koi seperti yang ada sekarang ini (Effendy 1993).
Akhir-akhir ini budidaya ikan mas dan koi mengalami kemunduran yang sangat drastis. Puluhan bahkan ratusan kematian ikan mas dan koi akibat infek virus KHV (Koi herpesvirus) sampai saat ini terus berlanjut dan sangat meresahkan pembudidayaan kedua jenis ikan ini termasuk pelaku usaha lainnya, seperti pabrik pakan, pengusaha pemancingan dan restoran. Sementa informasi tentang patogenitas KHV masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena KHV adalah penyakit yang sangat ganas dan menyebabkan kematian massal pada ikan koi dan ikan mas hingga mencapai 80-95% dalam kurun waktu satu minggu karena virus ini memiliki masa inkubasi antara 5-7 hari (Davenport 2001) Kerugian yang ditimbulkan virus ini sangat besar dan meresahkan pembudidayaan kedua jenis ikan ini. Secara kumulatif, kerugian yang ditimbulkan akibat penyakit ini mencapai 150 milyar. Di Indonesia KHV pertama kali terjadi pada ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret 2002. Penyakit KHV ini mudah dan cepat menular pada ikan mas dan ikan koi tetapi tidak menular kepada manusia (Rukyani dan Sunarto 2003). Selain itu penyakit ini cepat menyebar karena dalam waktu satu minggu dapat mencapai sejauh 10-30 Km (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002).
Gejala awal yang ditimbulkan oleh virus ini tidak terlalu nyata, karena virus langsung menyerang bagian dalam tubuh ikan. Serangan yang bersifat akut ini berakibat kematian yang bersifat fatal pada populasi ikan. Pada umumnya gejala tidak teramati oleh petani. Gejala klinis yang terlihat pada ikan adalah berupa penurunan nafsu makan, lemah, kulit melepuh, hemorrhagi pada kulit dan sirip, dan yang paling khas adalah kerusakan pada insang atau insang gripis (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004).
Pendeteksian kasus KHV di lapangan relatif sulit dilakukan karena infeksinya yang bersifat laten dan gejala klinis yang ditimbulkan tidak spesifik Pada level diagnosa secara laboratoris dilakukan dengan bermacam cara yaitu dengan isolasi virus dilanjutkan dengan identifikasi melalui histopatologis mikroskop elektron dan PCR. Namun metoda diagnosis yang umum dilakukan di beberapa laboratorium adalah metoda PCR dan teknik kohabitasi yang dilakukan dengan mencampur ikan sumber infeksi dengan ikan sehat dalam kurun waktu tertentu dan tekhnik infeksi buatan melalui penyuntikan partikel virus KHV. Pada teknik kohabitasi, rasio ikan sumber infeksi dan ikan sehat adalah 1 : 4-8 dalam waktu 7-10 hari (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004).
Teknik yang saat ini tengah dikembangkan adalah pendeteksian KHV dengan menumbuhkan virus pada sel ikan koi itu sendiri secara in vitro. Sel kultur yang digunakan untuk isolasi virus ini adalah sel KT-2 yang berasal da organ ekor ikan koi. Dengan minimnya informasi ilmiah tentang aspek ekoloc dan biologi (epizootiologi) dari KHV maka sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat virulensi virus KHV pada suhu yang berbeda, sehingga diketahui suhu optimum dari pertumbuhan penyakit KHV dan kemampuan virus tersebut bereplikasi pada suhu tertentu.
Pengetahuan tentang suhu optimum dan minimum pertumbuhan virus dapat dijadikan sebagai langkah untuk mengantisipasi dan mewaspadai wabah KHV sehingga kekhawatiran petani akan munculnya kembali wabah dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dapat ditekan. Dengan demikian keindahan ikan koi tetap dapat dinikmati dan ikan mas tetap dapat dinikmati kandung proteinnya.
Disamping itu upaya pencegahan dan pengendalian KHV juga harus diikuti dengan perbaikan sistem karantina dan lalu lintas ikan koi baik ekspor impor maupun pengiriman ikan hidup antar daerah sesuai dengan keputusan Dirjen Perikanan dan Budidaya nomor 4999 tentang petunjuk teknis dan tata cara pengiriman ikan mas keluar pulau Jawa serta keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan nomor 28 tahun 2002, yang melarang pemasukan dan pengeluar ikan mas dan ikan hias koi dari pulau Jawa, serta menetapkan pulau Jav sebagai daerah wabah penyakit KHV (Direktorat Jenderal Perikanan Budidadaya 2002).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan virus KHV dalam bereplikasi pada suhu tertentu, sehingga diketahui suhu optimum dari pertumbuhan virus yang diinokulasikan pada media sel kultur KT-2.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya kembali wabah penyakit pada ikan koi akibat infeksi virus KHV dengan menghindari pemeliharaan ikan pada suhu optimum virus.




TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Koi (Cyprinus carpio)
Sejarah
Ikan koi muncul pertama kali sekitar 2.500 tahun yang lalu. Ikan ini bukanlah asli dari Jepang tetapi merupakan keturunan ikan karper liar yang berasal dari Asia Timur. Dalam bahasa Jepang koi lebih dikenal dengan sebutan Nishikigoi. Koi banyak dibudidayakan dan dikembangkan di daerah Jepang. Koi mulai dikenal masyarakat Jepang khususnya di daerah Niigata sekitar 160 tahun silam. Saat ini ikan koi sudah dikenal sebagai ikan nasional di Jepang dan Jepang merupakan sentra perkembangan ikan koi.
Pemeliharaan ikan koi meningkat drastis selama tahun 1980-an. Mulai dekade ini koi sudah mendunia dan menjadi komoditas industri. Koi mulai dikenal di Indonesia sekitar 1981-1982 (Effendy 1993). Sentra budidaya ikan koi di Indonesia saat ini meliputi daerah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat Banten dan Sumatera.

Sejarah Koi herpesvirus (KHV)
Wabah KHV pertama kali terjadi di Israel dan USA pada tahun 1998 yang menyebabkan kematian lebih kurang 6000 ton ikan jenis common carp dengan kerugian mencapai lebih kurang 4 juta dolar (OATA 2001). Virus ini merupakan virus DNA yang sangat virulen karena menyebabkan kematian dalam waktu yang pendek. Di Asia khususnya di Indonesia, KHV ditemukan pertama kali pada sentra-sentra budidaya ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret 2002. Wabah ini terjadi setelah musim hujan. Ikan koi ini berasal dari China yang masuk ke Surabaya melalui Hongkong pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002; dengan total kematian mencapai 80-90%. Seperti diketahui bahwa Blitar merupakan pusat budidaya ikan koi di Indonesia, koi yang terinfeksi KHV distribusikan ke daerah sekitar pulau Jawa.
Wabah kedua terjadi pada jenis common carp sekitar akhir April 2002 di Subang Jawa Barat. Gejala yang timbul sama dengan penyakit KHV pada ikan koi sebelumnya di Blitar. Sejak itu wabah menyebar ke daerah sekitarnya seiring dengan perpindahan ikan.
Episode ketiga dari wabah ini terjadi pada bulan Mei 2002 di sentra budidaya ikan mas di daerah Cirata Jawa Barat. Seminggu sebelum wabah, para petani ikan membeli ikan dari Subang dengan harga yang murah.
Wabah terjadi di daerah Lubuk Linggau, Sumatera Selatan pada bulan Februari 2003. Gejala yang ditimbulkan juga sama seperti yang diobservasi pada common carp di pulau Jawa. Kemudian wabah terus menyebar di propinsi sekitarnya termasuk Bengkulu dan Jambi (Sunarto et al. 2005).
Penyebaran yang cepat oleh KHV diduga berhubungan dengan adanya perdagangan ikan koi antar negara dan pameran atau pertunjukan ikan koi Internasional. Sejak meluasnya wabah KHV mulai diberlakukan uji kesehatan dan sertifikasi ikan. Inspeksi ikan sebelum pengiriman atau di farm koi dapat mencegah penyebaran yang lebih luas.

Sifat dan Morfologi
Virus bukan termasuk sel dan hanya dapat hidup dalam sel makhluk hidup. Diluar sel, virus bersifat sebagai benda mati. Ukuran virus bervariasi antara 30-300 nm. Virus Herpes adalah virus yang berukuran besar dibandingkan virus lainnya. Struktur virus Herpes dari dalam keluar terdiri atas genom DNA untai ganda linear berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen dan selubung, sebagian selubung berasal dari membran sel yang diinfeksinya. Karena dalam selubung mengandung unsur lipid, virus Herpes menjadi sensitif terhadap pengaruh detergen dan pelarut lipid lainnya (Daili dan Makes 2002). Virus Herpes bereplikasi dalam metabolisme sel inang dengan menggunakan asam nukleatnya. Virus yang menempel pada induk semang akan masuk ke metabolisme induk semang dan bergabung membentuk sejumlah virus yang keluar dari sel induk semang dengan merusak membran plasma (lisis sel) (Sugiri 1992).
Virus tidak dapat diobati dengan antibiotik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif terhadap virus. Namun beberapa penyakit viral dapat dicegah dengan vaksinasi misalnya rabies, polio, hepatitis dan sebagainya. Virus Herpes termasuk golongan virus yang virulen dan tergolong pada virus DNA.
Epizootiologi
Virus KHV ini hanya menyerang golongan ikan jenis ikan mas dan koi dan dapat menyebabkan kematian yang sangat tinggi hingga 80-90%. Penyebaran penyakit ini adalah melalui kontak langsung antara ikan yang sehat dengan ikan yang sakit, kontaminasi air dan peralatan. Diduga fenomena virus KHV bersifat laten dan akan aktif pada keadaan tertentu seperti stres dari transportasi dan penanganan serta pergantian lingkungan dan fluktuasi temperatur (Sunarto et al. 2005).
KHV yang telah berhasil diisolasi dari ikan koi dan ikan mas diidentifikasi sebagai virus DNA penyebab kematian massal pada kedua jenis ikan tersebut. Virus KHV menunjukkan derajat spesifisitas terhadap jaringan dan inangnya yaitu genus Cyprinus. Kebutuhan pertama sel untuk infeksi adalah kesesuaian hubungan antara molekul perlekatan virus (ligan) dengan reseptor sel. Setelah penembusan dan pelepasan selubung, replikasi virus tergantung pada aktifitasnya.
Virus KHV yang ada saat sekarang ini berbeda dengan virus Herpes yang ditemukan terlebih dahulu pada ikan mas yaitu Cyprinid Herpesvirus (CHV). Ciri-ciri CHV telah di observasi oleh Schuber (1996) dengan menggunakan mikroskop elektron kemudian diisolasi dan karakteristik secara menyeluruh yang dilakukan oleh Sano et al. (1985). CHV menyebabkan papiloma pada kulit atau lesio cacar pada ikan yang lebih tua dan bersifat sistemik serta menimbulkan infeksi yang mematikan pada ikan koi dan ikan mas kurang dari umur 2 bulan (Sano et al. 1991). Secara morfologi KHV termasuk golongan Herpesvirus yaitu virus dengan bentuk heksagonal dengan ukuran diameter 110 nanometer. Karena tergolong dalam virus Herpes maka virus ini dapat bersifat carrier (pembawa) dan timbul kembali pada kondisi stres. Studi komparatif menunjukkan bahwa KHV di Indonesia memiliki persamaan sekuen DMA dengan KHV dari Amerika Serikat (Rukyani dan Sunarto 2003).
Virus ini hidup dan berkembangbiak pada suhu diantara 18-30⁰C. Oleh karena itu serangan penyakit KHV akan mereda apabila ikan dipelihara diluar rentang suhu tersebut. Masa inkubasi yang dimiliki virus ini adalah antara 5-7 hari dengan tingkat kematian mencapai 80-95% dalam waktu satu minggu sejak gejala klinis muncul (Davenport 2001).

Kultur Sel Hewan
Kultur jaringan adalah proses pembiakan jaringan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol dengan tujuan untuk mempelajari berbagai sifat jaringan tubuh dalam kondisi yang lebih sederhana dan terkontrol diluar tubuh.
Perkembangan yang pesat dari kultur jaringan sebagai teknik yang modern dan canggih terutama berkaitan erat dengan kebutuhan penelitian studi tentang virus dan tumor.
Menurut Sugiri (1992), jika sel dikultur dalam wadah bervolume tetap, maka baik kepadatan populasi (jumlah sel per unit volume kultur), maupun besarnya populasi (jumlah seluruh sel dalam biakan) selama fase eksponensial meningkat dengan laju yang sama besar. Berarti biakan sel dengan medium yang tetap dalam jangka waktu tertentu sel akan kehilangan nutrisi dan limbah metabolit yang berdifusi dari sel akan memenuhi media serta memberikan efek pada sel berupa bertambah besar atau mengecil. Pertumbuhan dan perkembangan sel disebut daur sel. Satu daur sel terjadi dalam satu jangka waktu generasi. Lamanya daur sel ditentukan oleh replikasi DNA nucleus. Seluruh daur sel pada sebagian besar sel hewan adalah 10-25 jam.
Pertumbuhan sel secara in vitro membutuhkan sejumlah media untuk pertumbuhannya, sejumlah bahan nutrisi menentukan pertumbuhan sejumlah sel, ini berarti jumlah dan kualitas bahan nutrisi yang tersedia dalam media menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan dalam media tersebut (Sugiri 1992).
Media penumbuh dalam kultur harus menyediakan semua kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan sel secara in vivo agar sel dapat bertahan hidup, berkembang biak dan berdiferensiasi. Medium ekstraseluler tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan esensial untuk hidup dan berkembang biak yaitu bahan nutrisi, hormon dan unsur stroma. Diantara cairan sel yang terbukti dapat memenuhi kebutuhan sel diluar tubuh adalah serum. Walaupun kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan secara optimum telah terpenuhi oleh media buatan, serum masih diperlukan senyak 5-20% dalam medium kecuali untuk tujuan tertentu karena serum mengandung bahan-bahan yang tidak terkarakterisasi harus dikeluarkan dan sepenuhnya menggunakan media buatan. Serum merupakan campuran yang kompleks dari berbagai biomolekul yang kecil maupun yang besar yang memiliki berbagai aktivitas pendorong dan penghambat pertumbuhan yang berada dalam keseimbangan fisiologis. Sejumlah komponen serum diketahui telah mendukung daya hidup dan pertumbuhan berbagai sel mamalia dalam kultur. Fungsi utama serum adalah sebagai faktor hormonal yang menstimuiasi pertumbuhan dan aktivitas sel, faktor pembantu terjadinya perlekatan sel dan penyebarannya, dan sebagai protein pembawa hormon, mineral, lemak dan lainnya (Malole 1990).
Penggunaan media juga bergantung dari tujuan pengkulturan sel dan jenis sel yang dikultur. Menurut Malole (1990) dalam bukunya yang berjudul Kultur sel dan jaringan hewan menjelaskan bahwa semua organisme berasal dari satu sel yang mengalami pertumbuhan menjadi ektoderm, mesoderm dar endoderm. Pada penggunaannya dalam kultur sel yang berasal dari mesodern (fibroblast, endotel dan myoblast) lebih mudah dikultur dari pada epitel, neuron dan jaringan endokrin. Karena sel-sel mesoderm lebih peka terhadap faktor mitogenik yang ada pada serum. Sel fibroblast dan endotel mampu berdiferensiasi dan bereplikasi di dalam kultur, sedangkan sel epitel tanduk dan sel-sel hematopoitik bila mengalami diferensiasi tidak dapat bereplikasi lagi. Mekanisme pertumbuhan sel dimulai dengan fase pertumbuhan lambat (lag phase), diikuti dengan fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner dan terakhir terjadi penurunan jumlah sel serta sel mati.
Sel kultur yang dapat tumbuh dan dapat di pasase atau subkultur secara berkelanjutan dapat menghasilkan continous cell line atau sel lestari. Terbentuknya continous cell line biasanya ditandai dengan perubahan morfologi sel (berupa sel yang lebih mengecil, kurang erat melekat, lebih bulat, perbandingan inti dengan sitoptasmanya lebih besar), lebih cepat tumbuh, waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh menjadi dua kali populasi semula menjadi lebih pendek yaitu 36-48 jam menjadi 12-36 jam, ketergantungan pada serum berkurang (lebih mampu berproliferasi dalam suspensi sebagai kultur cair atau koloni terpisah dalam agar), dan derajat heteroploitnya meningkat (peningkatan variasi kromosom diantara sel). Keuntungan continous cell line adalah tingkat pertumbuhannya lebih tinggi, kepadatan sel lebih tinggi, lebih banyak sel yang dihasilkan, sedikit membutuhkan serum, lebih mudah dipelihara dalam medium yang sederhana dan mampu tumbuh dalam suspensi. Sedangkan kekurangan dari continous cell line adalah susunan kromosomnya sangat labil, fenotipenya menyimpang dari sel donor dan kehilangan sifat spesifik jaringan (Malole 1990).
Pada pengkulturan sel, teknik aseptik harus selalu diterapkan untuk menghindari adanya kontaminan. Penggunaan antibiotik saja tidak cukup untuk mengeliminasi mikroorganisme yang ada, karena banyaknya sumber kontaminan yang tidak terjangkau oleh antibiotik seperti pekerja, lingkungan dan udara yang terkontaminasi oleh bakteri, kapang dan spora. Oleh karena itu semua paralatan dan bahan yang berhubungan dengan kultur sel harus steril dan semua kegiatan diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak antara kultur sel dengan lingkungan yang tidak steril.








MATERI DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2010 di Laboratorium Virologi, Laboratorium Riset Kesehatan Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Materi Penelitian
Kultur Sel dan Isolasi Virus
Penelitian ini menggunakan sel kultur yang berasal dari sel KT-2 (Koi Tail 2) dengan konfluensi lebih dari 80%. Sel kultur KT-2 yang digunakan berasal dari hasil pasase sel ke-4 (KT-2 P4). Isolat virus yang digunakan adalah isolat virus KHV (Koi herpesvirus) hasil pasase virus ke-5 (P5 KHV). Sel kultur KT-2 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sel yang didapat dari penelitian sebelumnya yaitu primary cell line dari organ ekor ikan koi yang dipasase secara terus menerus. Adapun prosedur pembuatan primary cell line adalah pertama ikan koi yang telah disiapkan dibunuh dengan melakukan perusakan spinal chord, organ ekornya diambil dan diletakkan di dalam beaker glass yang berisi larutan klorin pekat. Organ ini kemudian diambil dan dicuci dengan air ledeng mengalir dan kemudian letakkan kembali dalam larutan klorin sambil dikelupas sisiknya, kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer yang berisi air yang steril, dicuci sampai bersih. Organ dalam erlenmeyer diambil dan ditempatkan ke dalam cawan petri steril dan dibawa keruang kultur. Tambahkan 10 ml PBS yang telah dicampur dengan Kanamicin dan Penicilin Streptomicin ke dalam cawan petri, kemudian organ dicacah menggunakan pisau dan pinset steril. Potongan organ ini dipindahkan dalam erlenmeyer lalu dicuci dua kali dengan campuran larutan PBS, Kanamicin dan Penicilin Streptomicin hingga larutan bening. Setetah itu cacahan organ dipindahkan ke dalam botol Scott yang telah berisi magnetic stirrer dan diinkubasikan selama 1,5 jam pada suhu 28°C. Larutan pada botol Scott diganti dengan campuran larutan PBS dan Tripsin sebanyak 20 ml, dikocok dan dibuang lagi larutan tersebut dan diganti dengan larutan PBS dan Tripsin yang baru. Campuran larutan yang berisi cacahan organ ini diletakkan di atas stirrer kemudian diaduk selama 24 jam hingga warna larutan tersebut menjadi keruh, tujuannya agar komponen sel-sel yang terdapat di organ ekor tersebut menjadi terurai dengan sempurna. Lalu sel dipanen dengan mengambil 10 ml larutan sel dan ditambahkan 3 tetes serum kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Pelet hasil sentrifuse dilarutkan dalam 6 ml PBS yang sudah dicampur dengan Kanamicin dan Penicilin Streptomicin, kemudian dimasukkan ke dalam 3 buah flask 25 cm2 (masing-masing 2 ml), lalu ditambahkan medium pertumbuhan sel ke dalam masing-masing flask tersebut. Dalam perkembangannya sel disimpan dalam inkubator suhu 28°C. Waktu yang dibutuhkan dari primary cell line hingga pasase ke-5 adalah kurang lebih 3 bulan (Antoni 2005). Penggunaan pasase ke-5 ini adalah untuk keseragaman sel pada setiap perlakuan karena kuantitas sel di laboratorium yang mencukupi pada saat penelitian adalah kultur sel KT-2 P5.


Bahan Kimia
Bahan Kimia yang digunakan selama penelitian ini adalah Alkohol 70% sebagai desinfektan. Media pertumbuhan sel yang mengandung Leibovitz's L-15 medium, Penicilin Streptomicin, Kanamicin, L-Glutamin 200 mM, dan larutan FBS (Fetal Bovine Serum) 10%. Untuk pencucian media diperlukan PBS (Phospat Buffer Saline) dan Tripsin 0,25%. Bahan yang digunakan untuk pengujian menggunakan PCR antara lain DNA extraction kits untuk proses ekstraksi, master mix untuk amplifikasi. Primer yang digunakan merupakan desain primer yang dilakukan ORF 25 sekuen lengkap koi herpes virus (Akoi et al. 2007) yang dimulai dari basa ke-45587 sampai 47393. Primer forward disusun dari startcodon ATG sampai basa ke-19, sedangkan primer reverse disusun dari stopcodon TAA dan ditentukan basa komplemennya sampai sebanyak 22 basa. Untuk keperluan konstruksi sehingga hasil amplifikasi sesuai situs yang ada di vektor ekspresi maka ke dalam primer forward disisipkan situs Sal.l gel agarosa untuk proses elektroforesis dan Ethidium Bromida (EtBr) untuk pewarnaan hasil elektroforesis.

Alat Penelitian
Alat yang digunakan antara lain adalah multiwell plate, Sentrifuse Tomi TX-60, pipet 1 ml dan pipet 10 ml, tissue, Erlenmeyer 25 ml, Biohazard Cabinet Safety, timbangan, cryotube, mikroskop cahaya, kamera digital, inkubator suhu 15, 20, 25, 30 dan 35°C, termometer maksimun minimum, refrigerator, jas lab, marker. Untuk PCR alat yang digunakan adalah termocycler, UV trans-iluminator, alat elektroforesis dan photo polaroid. Perlu diketahui bahwa semua alat yang digunakan harus steril. Sterilisasi alat gelas menggunakan autoclave dengan pemanasan 160°C selama 1 jam.

Metodologi
Persiapan dan Pembuatan Media
Persiapan pertama yang dilakukan adalah thawing media L-15, Kanamicin, Penicillin Streptomicin, L-Glutamin hingga cair, kemudian dilakukan pencampuran media dengan komposisi L-15 350 ml, Penicilin Streptomicin 3,5 ml, Kanamicin 3,5 ml, L-Glutamin 3,5 ml, dan FBS 10% 35 ml. Pembuatan media dilakukan di dalam Biohazard Cabinet Safety dengan ruangan yang terpisah dari isolasi virus, kemudian media disimpan di refrigerator.

Pasase sel dan Persiapan sel
Sel yang digunakan berasal dari sel KT-2 hasil pasase dari P4. Pasase dilakukan pada sel yang telah mengalami konfluensi mendekati 100%. Pasase atau subkultur ditujukan agar mendapatkan sel yang lestari. Pasase dilakukan dari satu flask (botol) menjadi dua atau tiga flask dengan split ratio 1:3. Pasase dilakukan dengan cara media kultur dibuang dengan hati-hati, limbah media kultur dibuang dalam Erlenmeyer dan didesinfektan selama 24 jam sebelum dibuang. Tujuan desinfeksi adalah untuk menghilangkan kandungan zat-zat kimia dalam media sehingga tidak mencemari lingkungan. Kemudian dilakukan pembilasan sel dengan menambahkan 5 ml larutan PBS yang dilewatkan pada permukaan flask yang berlawanan dengan permukaan tempat sel tumbuh. Pencucian dilakukan dengan membalikkan kembali flask secara hati-hati sehingga larutan pembilas mengenai semua bagian permukaan sel, kemudian larutan PBS dibuang. Pencucian dilakukan minimal dua kali.
Ke dalam kultur monolayer yang telah dicuci, ditambahkan larutan Tripsin yang berfungsi melepaskan ikatan sel dari permukaan flask. Larutan Tripsin sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam flask dan harus mengenai semua permukaan sel dengan cara memiringkan flask secara hati-hati, kemudian diinkubasikan selama 0,5 - 1 menit sampai lapisan sel terlihat putih (opaq) yang berarti sel telah terangkat dari flask. Larutan Tripsin dibuang kemudian sel diinkubasikan selama lebih kurang 1,5 menit. Pemisahan dan pelepasan sel dari permukaan flask dapat dilakukan dengan menepuk flask menggunakan tangan secara perlahan, lalu diamati dibawah mikroskop untuk memastikan sel telah terlepas dari flask dan saling terpisah.
Sebelumnya disiapkan 12 plate multiwell yang telah berisi media kultur sebanyak 0,5 ml. Suspensi sel dilarutkan dalam 6 ml media kultur yang dibagi ke dalam 12 plate. Plat yang diisi adalah deretan tengah (B atau C) untuk memudahkan pengamatan. Tiap perlakuan diberi identitas nama sel, nomor pasase, tanggal pasase, perlakuan suhu dan operator lalu masing-masing sel pada multiwell plate diinkubasikan pada suhu 25⁰C. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai konfluensi mencapai lebih dari 80%. Untuk sel kontrol disediakan satu multiwell plate dengan 3 kali ulangan dan disimpan pada suhu 25⁰C.

Inokulasi Isolat Virus KHV pada Sel KT-2
Setelah konfluensi mencapai lebih dari 80%, berarti sel telah siap untuk diinokusikan isolat virus KHV. Cara membuat isolat virus adalah pada sel yang telah habis katena virus KHV. Sentrifugasi dilakukan menggunakan tabung cryotube selama 15 menit dengan kecepatan 1500rpm pada suhu 4⁰C. Setelah proses sentrifugasi, supernatan diambil menggunakan pipet lalu dimasukkan ke dalam microtube dan diberi marker. Dilakukan secara hati-hati jangan sampai pelet ikut terbawa dalam supernatan. Semua proses pemanenan virus dilakukan di dalam Biohazard cabinet Safety untuk menghindari adanya kontaminan dari luar. Kemudian dilakukan inokulasi virus pada seel yang telah konfluen mencapai lebih dari 80% pada multiwell plate dengan prosedur sebagai berikut, langkah pertama, media kultur diambil dengan menggunakan pipet 1 ml, dilakukan secara hati-hati sehingga sel tidak ikut terbawa. Kemudian ditambahkan isolat virus sebanyak 0,2 ml ke dalam sel pada semua plat. Lalu diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 25⁰C. Setelah 1 jam ditambahkan media pertumbuhan baru bagi sel. Selanjutnya sel diinkubasikan pada inkubator 15,20,25,30, dan 35⁰C sesuai dengan perlakuan. Masing-masing perlakuan ditempatkan pada multiwell yang berbeda dengan 3 kali ulangan yaitu ditempatkan pada multi plate yang sejajar. Jadi dibutuhkan 5 multiwell plate untuk 5 perlakuan yang berbeda. Sedang untuk kontrol berbeda dengan sel pada tiap perlakuan yaitu kontrol tidak diinokulasikan dengan virus dan diinkubasi pada suhu 25⁰C.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mikroskop cahaya terhadap semua plat yang telah diinokulasikan dengan isolat virus KHV termasuk kontrol sel. Pencatatan dilakukan setiap hari terhadap perubahan pada sel yang disertai dengan dokumentasi menggunakan kamera digital yang terhubung pada mikroskop.

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Kultur sel KT-2 post infeksi virus KHV 14 hari diuji dengan metode PCR. Tujuannya untuk membuktikan keberadaan DNA virus KHV di dalam supernatan dari kultur sel yang telah disentrifugasi. Supernatan virus KHV diekstraksi dengan menggunakan DNA extraction kit, sehingga diperoleh pelet DNA. Kemudian dilanjutkan dengan proses amplifikasi (denaturasi, anneling dan anneling). Selanjutnya dilakukan analisa hasil PCR dengan elektoforesis pada gel agarosa dan pewarnaan menggunakan Ethium Bromida (EtBr). Kemudian hasil dapat diamati pada UV trans-illuminator dan didokumentasikan dengan kamera Polaroid.

Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisi secara dskriptif yang disajikan dalam bentuk gambar.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. 2007. Koi Herves Virus (KHV): Penyebab Kematian Massal pada Ikan Mas dan Koi. [terhubung berkala]. http:// indoorcommunity .wordpress.com /2007/ 07/24/ koi-herves-virus-khv-penyebab-kematian-massal-pada-ikan-mas-dan-koi/.[7 January 2010].
Anonim 2. 2006-2007. Koi Health: Information On Koi Herpesvirus.[terhubung berkala]. http://www. Koihealth .org/. [7 Januari 2010].
Anonim 3. 2006. Koi Herpes Virus (KHV). What is it, and What happens next?. [terhubung berkala]. http://www.pond-doctor.co.uk/longkhv.html. [7 January 2010].
Mark Crane, Motohiko Sano, and Cedric Komar. 2004. Infectionwith Koi Herpesvirus Disease Card.














DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. 2007. Koi Herves Virus (KHV): Penyebab Kematian Massal pada Ikan Mas dan Koi. [terhubung berkala]. http:// indoorcommunity .wordpress.com /2007/ 07/24/ koi-herves-virus-khv-penyebab-kematian-massal-pada-ikan-mas-dan-koi/.[7 January 2010].
Anonim 2. 2006-2007. Koi Health: Information On Koi Herpesvirus.[terhubung berkala]. http://www. Koihealth .org/. [7 Januari 2010].
Anonim 3. 2006. Koi Herpes Virus (KHV). What is it, and What happens next?. [terhubung berkala]. http://www.pond-doctor.co.uk/longkhv.html. [7 January 2010].
Pasaribu, F.H. 2009. Penggunaan Pelet Yang Mengandung Imunoglobulin-Y (IgY) Anti Koi Herpes Virus (KHV) Dalam Upaya Pengendalian Wabah Penyakit KHV Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio carpio) dan Koi (Cyprinus carpio koi). Usulan Penelitian Unggulan Institut Pertanian Bogor (PUI) 2009.
Mark Crane, Motohiko Sano, and Cedric Komar. 2004. Infectionwith Koi Herpesvirus Disease Card.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar