Senin, 06 Juli 2009

Pengembangan Peternakan Ruminansia di Bumi Ayu, Kampung Jawa, Sulbar

Secara administrasi pemerintahan Desa Bumiayu terletak dengan batas-batas sebagai berikut:
  • Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sidorejo
  • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Galesong
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bumimulyo
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kebunsari
Desa ini lebih terkesan sepil di banding desa-desa tetangga, karena warga desa tersebut banyak yang perantau tetapi homogenitas sebagai keturunan suku jawa. Nenek moyang mereka mulai berdomisili di desa tersebut sejak 1911-an, sebelum Indonesia Merdeka, mereka adalah tergolong warga punishmen pada masa penjajahan Belanda. Kini anak-keturunan mereka minimal lulusan SMA, dan sebagian besar melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi "Program Sarjana". Rata-rata penduduk desa tersebut bekerja sebagai petani, pedagang, home industri tahu dan tempe, beternak serta guru dan abdi negara (PNS). Sedang para Sarjana nya banyak berkembang di luar daerah misal di Kalimantan, Ponorogo, Sidoarjo, Tulung Agung, Surabaya, Jogjakarta, Solo, Bandung bahkan Jakarta dan Bogor. Rata-rata mereka menjadi pelayar, pedagang, dosen dan PNS.

Keberhasilan usaha khususnya pada penggemukan sapi potong di desa tersebut amat sangat tergantung pada sumber daya peternak dan letak geografis dari peternakan tersebut. Penduduk di daerah sekitar desa tersebut adalah konsumen hasil asal hewan, mengingat masakan favorit mereka adalah konro dan cotto Makassar yang mana bahan masakannya berasal dari jerohan dan tulang belulang hewan ruminansia. Biasanya mereka mengimport bahan masakan ini dari Australia dan Newzelan. Walau demikian mereka pun melakukan perdagangan sapi, kambing dan ayam di dalam propinsi dan keluar propinsi misal ke Kalimantan. Ternak-ternak yang diperdagangkan keluar propinsi tersebut di kirim langsung dengan menggunakan kapal angkut barang melalui pelabuhan Tonyaman, Majene dan Mamuju. Prediksi pada masa yang akan datang, daerah ini akan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap ternak sapi potong sehingga dapat mengurangi beban pulau Sulawesi terhadap kebutuhan warganya terutama produksi pangan hewani.

Potensial pengembangan peternakan ruminansia di daerah ini di dukung oleh berbagai faktor tersebut diatas. Hanya saja, sangat disesalkan karena program peternakan khususnya ruminansia di desa tersebut tidak diimbangi dengan teknologi modern. Mereka beternak masih secara tradisional yang secara turun temurun berdasarkan pengetahuan nenek buyut canggahnya. Padahal hampir setiap kepala rumah tangga mempunyai ternak 2-10 ekor sapi potong. Menurut Pak Tolu, salah seorang abdi desa bahwa warga antusias menyambut adanya pelatihan singkat tentang tata cara beternak ruminansia ala modern dan hingga kini warga sering mengundang para Sarjana Peternakan atau Dokter Hewan "Ahli Ruminansia" secara swadaya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar